Iklan Puas Diri Mendagri
Eko Harry Susanto
Sepertinya tiada henti, Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf terus memasang iklan institusi Departemen Dalam Negeri. Isinya, keberhasilan pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan sejak Juni 2005.
Dengan bangga dipaparkan grafik yang menunjukkan 92 persen pilkada berjalan lancar dan tertib, sedangkan yang bermasalah hanya delapan persen, jumlah yang amat kecil dan memberi harapan tumbuhnya demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah langsung.
Disertai pesan ”mari kita tingkatkan kualitas pilkada agar lebih banyak lagi wilayah yang menyambut kepala daerah terpilih dengan damai”, serasa pemilihan kepala daerah tidak memiliki persoalan berarti bagi pemerintah. Sepintas pemaparan keberhasilan pilkada sepanjang tahun 2005 amat menenteramkan masyarakat, yang semula khawatir terhadap terjadinya konflik horizontal.
Golput
Terlepas dari klaim keberhasilan pilkada, betapa terkejutnya saya saat membaca persentase golongan putih (golput) sebesar 31,3 persen dalam pilkada tahun 2005 (Kompas, 15/12/2005). Angka terbesar sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, jauh lebih banyak dari perkiraan pemerintah yang berspekulasi dengan mematok jumlah golput dalam pilkada akan rendah.
Golput, sebagai nonpartisipan, tidak memiliki kekuatan berarti dalam kuantifikasi atau persentase jumlah suara pemilih. Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, pengesahan hasil pilkada tidak menentukan persyaratan persentase jumlah pemilih yang menggunakan haknya. Namun, aspek legal berbeda dengan tinjauan politis sebab tidak maksimalnya jumlah pemilih pada pilkada akan berpengaruh terhadap legitimasi politik kepala daerah terpilih dalam menjalankan kekuasaannya.
Penyelenggaraan pilkada, sebagaimana dalam iklan institusi Depdagri, semestinya keberhasilannya tidak hanya diukur dari bermasalah atau lancar dan tertib saja. Kriteria ini mengesankan jargon politik yang mengedepankan stabilitas keamanan sebagai tolok ukur kegiatan pemerintahan dan negara. Esensinya pilkada berjalan lancar, tetapi dalam situasi dingin dan kurang bergairah karena rendahnya partisipasi masyarakat.
Negara maju
Secara komprehensif, keberhasilan pilkada harus merujuk sejauh mana keterlibatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam situasi demokratis tanpa tekanan mana pun. Karena itu, sayang jika pemilih terdaftar yang hanya bisa memengaruhi pemerintah lewat pemilu, tidak menggunakan kesempatan itu.
Meski demikian, keikutsertaan dalam pilkada bukan mobilisasi massa atau tindakan memaksa masyarakat melalui berbagai upaya agar berbondong-bondong memilih calon kepala daerah yang tidak dikenal. Pada hakikatnya, kata kunci yang melekat dalam pilkada adalah partisipasi konsisten sebagai bentuk keterlibatan mental dan emosi konstituen terhadap calon kepala daerah yang dipilih langsung.
Jumlah golput yang tinggi pada pilkada tahun 2005 seyogianya tidak dipakai sebagai dalih bahwa di beberapa negara maju golput juga mendominasi pemilu.
Selanjutnya kita mematut-matut diri, demokratisasi di Indonesia tumbuh subur seraya merujuk tingginya angka golput di negara maju. Bagaimanapun juga, golput dalam balutan apatis, skeptis, dan akumulasi kekecewaan tidak dapat dibandingkan dengan perilaku pemilih golput negara maju yang cenderung mengaitkan kalkulasi ekonomis. Karena itu, amat wajar jika institusi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pilkada harus mampu meminimalkan jumlah golput tahun 2006, setidaknya lebih kecil dari 31,3 persen dihitung dari jumlah pemilih terdaftar.
Masalahnya, tidak mudah menekan angka golput sebab sumber alasan tidak mau ikut memilih pilkada terkait sikap masyarakat yang tidak percaya bahwa ”pilkada akan menghasilkan kesejahteraan yang lebih nyata bisa dinikmati”. Terlebih, pilkada yang dikemas dalam kubu partai. Kurangnya perhatian partai politik di pusat atau daerah terhadap berbagai masalah krusial masyarakat memberi kontribusi amat besar untuk bersikap golput dalam pilkada.
Berdasar hasil polling (Kompas, 26/9/2005), citra partai politik di mata responden umumnya amat buruk, tidak ada partai politik yang memiliki citra baik dan memperoleh nilai 60 persen. Angka tertinggi, 55,6 persen, hanya dicapai satu partai.
Saat ini, seiring bertambahnya masalah di masyarakat, bukan mustahil jika tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik akan kian turun dan memengaruhi jumlah golput pada pilkada tahun 2006.
Guna menciptakan dinamika yang konstruktif sekaligus menekan jumlah golput pada pilkada tahun 2006, bukan hal yang salah jika isi pesan iklan layanan masyarakat Depdagri diganti secara berkala dengan mengetengahkan aneka macam pesan. Keberagaman pesan pilkada yang dikemas tanpa prasangka akan membuka pikiran masyarakat bahwa kehidupan bernegara harus selalu dikembangkan ke arah lebih baik.
Imbauan
Seperti harapan Mendagri, untuk meningkatkan kualitas pilkada, sebaiknya pesan layanan masyarakat yang dimuat bertubi– tubi di berbagai media itu menyertakan berbagai imbauan kepada masyarakat guna berpartisipasi menentukan pilihan kepala daerahnya sesuai dengan nurani. Seruan itu minimal memberi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk bersikap netral dan tidak larut dalam cermin buram partai politik
Sebaliknya dengan satu pesan monoton, sumber pesan Depdagri kehilangan banyak kesempatan memberi pembelajaran tentang demokratisasi pilkada.
Dalam perspektif komunikasi, pesan yang disampaikan berulang–ulang akan menghasilkan kejenuhan informasi. Dengan kata lain, pesan-pesan yang diterima khalayak tidak lagi dapat diproses menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Eko Harry Susanto Dosen PPS Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah dan Universitas Sahid